CINEMA FOR TWO



CINEMA FOR TWO


Suara derit pintu teater menggema di seluruh penjuru. Di sisinya, terlihat kepala gadis mungil yang mengintip ke dalam ruangan. Dari parasnya, ia tampak seperti anak yang tersesat, dan entah bagaimana menemukan jalannya ke bioskop ini. Aku menatapnya dari tengah tangga dengan antusias.

"Ah, selamat datang Nona Manis! Sudah lama aku menunggu." Aku mencoba menyambutnya selembut mungkin. Tampaknya ia sedikit terkejut melihat sosokku.

"Di mana semua orang?" ucapnya. Matanya menerawang ke seluruh penjuru, menatap kursi-kursi kosong dengan janggal.

"Setiap orang akan mendapat gilirannya masing-masing, Nona Manis. Sekarang, masuklah. Silahkan duduk di manapun yang kau mau!"

Pada awalnya ia terlihat ragu, namun akhirnya ia memutuskan masuk ke dalam ruangan. Ia mengenakan piyama putih, tanpa alas kaki, dan kedua lengannya memeluk boneka beruang cokelat dengan erat, seakan ia tak sudi kehilangannya. Langkahnya tampak gontai, menuruni anak tangga perlahan. Hingga ia sampai di baris terdepan, dan memutuskan untuk duduk di kursi terpojok dekat dinding. Aku pun memilih duduk di sebelah kursinya.

Lampu ruangan padam, dan layar mulai menayangkan film yang telah ditunggu. Proyektor tua memantulkan cahayanya ke layar, menampilkan sebuah film berjudul "Life of Samantha Bolton". Gadis itu memandang heran.

"Hei, bukankah itu...."

"Ssshhh, Nona Manis. Sudah menjadi etika untuk tidak berbicara lantang ketika menonton film." Aku memotong pertanyaannya. Gadis kecil itu menuruti dan kembali menyandarkan punggungnya ke kursi.

Film dimulai dengan sebuah adegan seorang bayi di sebuah ruangan yang dilapisi kertas dinding bermotif bunga matahari, dan karpet alfabet warna-warni. Di sekelilingnya terdapat berbagai macam mainan, seperti bola plastik, boneka kain, dan mainan lainnya yang mengeluarkan bunyi-bunyian konyol. Di sisi kanan dan kiri ruangan terdapat sepasang pria dan wanita yang menepuk-nepukkan tangannya, berlomba menarik perhatian bayi kecil tersebut.

Pada awalnya, sang bayi bimbang, untuk menghampiri ke kiri atau ke kanan. Pasangan tersebut pun semakin heboh menarik perhatiannya, bahkan merayunya. Tapi, pada akhirnya bayi tersebut merangkak untuk menyambut uluran kedua tangan salah satu dari mereka.

"Bunda menang! Bunda menang!" ucap wanita itu riang sembari menggendong bayi mungil itu dengan kedua tangannya.

"Yaaah, Ayah kalah lagi...." Pria di seberangnya terlihat kecewa. Ia kini menghampiri istrinya.

"Hehe, iya dong! Samantha kan sayang sama Bunda. Iya, kan putri kecilku?" tanyanya bercanda.

"Ah, masa? Sammy sayang sama Ayah juga enggak? Sammy sayang sama Ayah? Iya?" goda pria itu kepada putri kecilnya.

Samantha yang mungil belum bisa berbicara, sehingga ia hanya bisa merespon pertanyaan Ayahnya dengan tertawa cekikikan. Adegan itu diakhiri dengan gelak tawa dari pasangan suami istri tersebut.

Kemudian, adegan itu memudar seperti kabut. Beberapa kepingan memori samar ditampilkan sekilas tanpa suara. Momen ketika Samantha begitu semangat karena bisa berjalan untuk pertama kali, hingga tanpa sadar eksplorasinya berakhir di rumah tetangga. Momen ketika Samantha bersin sangat kuat, sehingga ingusnya bisa memadamkan lilin di kue ulang tahunnya. Bahkan, momen ketika di hari pertama sekolah, Samantha salah masuk ke kelas senior. Pantas ia merasa heran mengapa teman sekelasnya terlihat begitu besar.

Semua momen itu begitu hangat, dan kenangan yang sulit terlupakan. Bahkan, Nona Manis di sebelahku tak melepaskan pandangannya ke layar. Ia menonton begitu antusias.

Kepingan memori itu tetap muncul selama sekian detik, dan beberapa saat kemudian berhenti. Adegan berikutnya, Samantha yang kini sudah sedikit lebih besar, sedang berada di sebuah koridor gelap. Samantha sedang menggandeng Ayahnya sambil menyusuri koridor tersebut. Gadis kecil di sebelahku tampak gelisah.

"Bisakah kita lewati bagian ini? Ini membuatku tak nyaman" ucapnya cemas.

"Sayangnya tak bisa, Nona Manis. Aku tidak mengontrol jalannya cerita."

Perjalanan Samantha dan Ayahnya di koridor kelam itu terhenti di sebuah pintu. Sang Ayah mengusap kepala putrinya dengan lembut tanpa bersuara. Mimiknya tampak menahan pedih dalam dadanya.

Pintu tersebut pun terbuka, dan di dalamnya terdapat ruangan berwarna putih, berbagai mesin bantuan medis dan ranjang di tengahnya. Di atas ranjang itu terbaring seorang wanita, tubuhnya kurus dan ringkih, nafasnya tersengal-sengal menahan sakit. Ia tampak berbeda, tapi kami berdua tahu siapa wanita itu. Itu Bunda dari Samantha.

Melihat putri dan suaminya berkunjung, senyumnya merekah meskipun tubuhnya kian melemah. Ia bersikeras mengangkat tubuhnya untuk duduk. Kemudian, ia mengulurkan kedua tangannya kepada putrinya, persis ketika Samantha masih bayi. Namun, kali ini Samantha tidak menghampirinya. Dalam satu tarikan nafas, Samantha melepaskan diri dari genggaman tangan Ayahnya, keluar dari ruangan, dan lari menyusuri koridor gelap kembali.

Mimik wajah Samantha menunjukkan kengerian. Ia takut. Ia takut menatap wajah Bundanya. Ia takut akan apa yang dialami oleh Bundanya. Namun, selain rasa takut, tersirat juga kesedihan dan amarah. Ekspresi yang sama juga ditunjukkan oleh Nona Manis di sebelahku.

"Kau tahu? Seseorang harus protes kepada pembuat skenarionya. Maksudku, perkembangan plot macam apa ini?!" ujarnya berang.

"Aku memahami apa yang kau rasakan, Nona Manis. Tuanku yang membuat seluruh skenarionya. Harus kuakui, Beliau sangat jarang menciptakan cerita yang disukai para penggemarnya. Bagaimanapun juga, menurut Beliau semua orang adalah pemeran utama."

Mendengar jawabanku, gadis kecil itu kembali tenang. Seakan ia telah memahami segala misteri yang selama ini ia simpan dalam hati.

Tak berapa lama, adegan tersebut berdenyar bagai kabut dan kembali menampilkan kepingan memori. Tapi kali ini, bukanlah kenangan hangat dan bahagia yang muncul. Sekilas terlihat, sebuah upacara pemakaman yang diiringi tangisan keluarga, seorang Ayah yang terhanyut dalam kenyamanan fana akan minuman alkohol, dan seorang putri kecil yang mengurung diri dalam kamarnya.

Samantha kini menginjak usia remaja, dan semua hal tak berjalan mulus di kediaman keluarga Bolton. Sebotol Wiski setiap hari membuat logika Ayahnya terkikis, dan tak butuh waktu lama hingga ia kehilangan pekerjaannya. Kesulitan ekonomi, menyulut masalah emosi. Dulu, "keras kepala", "mudah marah" dan "agresif" bukanlah kata sifat yang menggambarkan Ayahnya, namun kini kata tersebut sudah melekat pada dirinya. Luka lecet dan lebam kini menjadi santapan sehari-hari Samantha.

Tak tahan dengan kekerasan yang ia terima, Samantha memilih meninggalkan rumah. Baginya, kejamnya kehidupan jalanan lebih baik daripada kejamnya siksaan dari orang yang dulu ia sayangi. Dengan berbekal uang tabungan, beberapa pakaian ganti dan kebaikan orang asing yang menawarkan tumpangan, ia pun pergi dari tempat tinggalnya.

Samantha pun beranjak dewasa, dan ia sudah puas merasakan getirnya bertahan hidup di jalanan. Dari mengais tong sampah di pinggir jalan, sampai mencuri makanan dari sebuah restoran. Dari mencoba menghisap rokok untuk menenangkan diri, sampai menelan pil ekstasi untuk melupakan realita. Melihat adegan itu, Nona Manis di sebelahku menunjukkan paras jijik sekaligus malu, dan ia memeluk boneka beruangnya semakin erat.

Adegan berikutnya menampilkan Samantha sedang berjalan-jalan di daerah pinggir kota yang berbukit. Di sana ia menemukan sebuah restoran yang berlokasi dekat tebing yang curam. Pada awalnya, Samantha hendak mencuri ke dalam, atau setidaknya makan tanpa membayar. Tapi, seorang wanita tua pemilik restoran tersebut justru mempersilahkannya makan tanpa membayar. Setelah lama ia tak merasakan kebaikan orang lain membuatnya merasa hal tersebut sangat ganjil.

Kejadian tersebut terus berulang, Samantha yang mengintip ke dalam restoran berniat untuk mencuri, justru diundang oleh pemilik restoran. Hingga akhirnya Samantha merasa gelisah. Ia mulai merasa berhutang budi pada sang pemilik restoran. Ia pun menawarkan diri untuk bekerja pada wanita tua tersebut, dan beliau menerimanya. Pemilik restoran tersebut bahkan bersedia membiarkannya tinggal di salah satu ruangan kosong di lantai dua, sampai Samantha bisa mandiri dan memiliki tempat tinggal sendiri.

Ombak besar yang menghantam kehidupan Samantha sekilas tampak mulai tenang. Ia mulai menemukan stabilitas dalam hidupnya. Namun layaknya lautan, bahkan manusia pun kesulitan memprediksi kapan datangnya badai.

Semua dimulai ketika Samantha mulai menjalin hubungan romantis dengan salah satu pemuda di lingkungan tersebut. Hubungan mereka yang pada awalnya hanyalah jalinan kasih biasa, semakin meningkat hingga lebih intim dan bebas. Sebebas perjalanan luar kota di pagi buta, kau bisa mengebut di jalan tol yang kosong. Tanpa sadar bahwa mobil yang kau tumpangi memiliki rem blong dan kau tak bisa menghindari "kecelakaan" yang kelak terjadi. Tiap kali wajah pemuda itu hadir di layar, ekspresi Nona Manis selalu menegang seakan ia memiliki prasangka buruk terhadapnya.

Dan tampaknya prasangka dia benar.

Pemuda itu meninggalkan Samantha. Pemuda itu pergi entah kemana, membawa buku tabungan Samantha, meninggalkan kekasihnya yang sekaligus calon ibu dari anaknya. Sekali lagi, Samantha terpuruk dalam depresi. Sekali lagi, Samantha tertelan ombak kehidupan.

Semakin besar bayi yang ia kandung, semakin besar pula beban psikologis yang Samantha pikul. Harga dirinya remuk, jiwanya runtuh. Tak butuh waktu lama hingga akhirnya ia memutuskan mengakhiri hidupnya. Berbutir-butir pil obat tidur ia telan dalam satu saat, berharap ia akan terlelap selamanya. Namun, tubuhnya menolak pil tersebut dan memuntahkannya kembali. Entah karena mekanisme pertahanan dari fungsi biologis tubuhnya, ataukah karena insting keibuan yang menyelamatkannya. Selama adegan tersebut berlangsung, aku melirik ke arah sang Nona Manis dengan sinis. Pandangan kami bertemu.

"Ya, ya aku mengerti. Bukan keputusan yang bijak." cibirnya sembari mengalihkan pandangannya kembali ke layar.

Hingga akhirnya hari kelahiran tiba. Seorang putra yang sehat terbaring di samping ranjang bersama Samantha. Wanita tua pemilik restoran meninggalkan mereka berdua. Seharusnya adegan ini tampak menyentuh hati dan penuh suka cita, namun entah mengapa penonton di sebelahku ini justru tampak ketakutan. Bahkan ia menutup mata boneka beruangnya, seakan adegan berikutnya bukanlah hal yang pantas untuk diperlihatkan.

Samantha menatap putranya, namun ekspresinya terlihat datar dan dingin. Tak ada senyum yang terukir di bibirnya. Suasana dalam ruangan rumah sakit itu begitu sunyi, dan mencekam.

"Semua karena kau...." Bisikan Samantha memecah kesunyian.

"Semua karena kau! Semua karena kau! Semua karena kau!!!" lanjutnya dengan kesal. Amarah yang mendalam terpatri dalam raut wajahnya.

"Seandainya kau tak ada... Seandainya kau tak pernah ada!!!" ucapnya muak dengan nafas tertahan.

Setelah mengakhiri kalimatnya, dengan perlahan ia arahkan tangan kanannya kepada leher putranya. Hanya butuh satu cengkeraman, dan waktu yang tak lama untuk mengakhiri hidupnya.

Namun, Samantha tak kunjung mencengkramnya. Telapak tangannya gemetar tanpa henti. Amarah menguasai pikirannya, namun keraguan menyelimuti isi hatinya. Lalu, di tengah kebimbangan tersebut, terjadi suatu hal yang menakjubkan. Sang bayi yang bahkan belum bisa membuka kelopak matanya, justru meraih jari kelingking ibunya dan menggenggamnya dengan refleks. Samantha yang melihat hal tersebut tampak terkejut.

Jemarinya membatu, menyambut genggaman tangan mungil anaknya. Kemudian, sang bayi yang menjadi sasaran amarah justru tersenyum riang. Ia tak tahu apa yang sedang terjadi. Ia bahkan belum bisa melihat. Namun, yang jelas ia merasa nyaman bersama seseorang di sampingnya, pemilik jari kelingking yang ia genggam.

Seluruh peristiwa tersebut meluluhkan hati Samantha. Api amarah yang ia kobarkan, seketika dipadamkan dengan tetesan air mata. Ia pun merengkuh buah hatinya dengan penuh kasih sayang, sambil membisikkan kata maaf. Berbagai emosi bercampur aduk, baik pada raut wajah Samantha, ataupun wajah gadis kecil di sebelahku, dan aku sulit memaknainya. Sedih, sesal, malu dan mungkin..., rasa bersalah? Entahlah.

Adegan mengharukan itu terhenti ketika sang pemilik restoran membuka pintu ruangan.

"Maafkan aku Sammy, tapi suster memerlukan data lebih lanjut. Apakah kau sudah memutuskan namanya?" tanyanya antusias. Samantha merespon dengan menganggukkan kepala. Ia kembali menatap putranya, meskipun butiran air mata merabunkan pandangannya.

"Theodore..., dia adalah Theodore Bolton, putra mungilku. My little Teddy!" jawabnya dengan suara sengau.

Kemudian, adegan itu kembali terbuyar dan diiringi kepingan memori. Kehidupan Samantha bersama anaknya, si Teddy kecil, tampak begitu bahagia. Namun, setiap kali kepingan memori itu muncul, Nona Manis di sampingku kian gelisah. Tubuhnya menggigil dan giginya gemeretak.

"Kau tak apa-apa, Nona Manis?"

"Ya. Aku hanya..., kelelahan. Tubuhku terasa begitu dingin."

"Baringkanlah tubuhmu, dan letakkan kepalamu di sini." Ia pun merebahkan tubuhnya, dan menyandarkan kepalanya ke bantalan lengan kursiku. Aku pun menyelimuti gadis kecil itu dengan jubah hitamku.

Adegan berikutnya terjadi di saat pagi buta. Restoran belum buka, hanya ada Samantha dan Theodore yang tertidur di lantai dua. Samantha terlelap, dengan mengenakan piyama putih, dan Theodore dilapisi selimut cokelat.

Tiba-tiba, bumi pun bergetar.

Sebuah gempa berskala kecil melanda pinggir kota. Samantha terbangun dengan panik dan menghampiri putranya. Dengan sigap ia memeluk Teddy kecil dan berlari menuruni tangga. Ia mempercepat langkahnya untuk membuka pintu restoran, dan segera mencapai tanah lapang.

Namun, Samantha tak pernah bisa keluar.

Hanya tersisa beberapa meter jaraknya antara dia dengan daun pintu, tiba-tiba sebongkah batu besar jatuh dari tebing dan menghantam bangunan restoran. Suara derit tiang kayu yang patah dan atap yang runtuh bergema di kesunyian malam. Timbunan tanah longsor pun ikut menyusul menguburnya. Total beban seberat lima ton, menimbun raga Samantha dan Theodore dalam sekejap. Sebuah akhir yang tak pernah ia duga.

Cahaya proyektor berkelap-kelip, dan gambarnya terputus-putus seperti pita film yang kusut. Kemudian, cahaya tersebut pun mati, lalu menyala kembali dan menampilkan latar putih dengan sebuah kalimat di tengahnya. Tak lama, lampu teater kembali menyala.

"Bangunlah Nona Manis. Sudah saatnya untuk pergi." Aku mengusap kepala gadis mungil itu.

"Sudah berapa lama kita di sini, Tuan?" tanyanya sambil melirik ke arahku.

"Tak lebih dari 7 menit."

"Wow! Tapi tadi itu serasa seperti seumur hidup!"

"Aku paham maksudmu, Nona Manis," ucapku sambil tersenyum, "semua orang berpendapat sama sepertimu."

Selama beberapa detik, suasana sunyi. Kemudian, gadis kecil itu mencoba bangkit dan kembali duduk di kursi.

"Haruskah aku pergi, Tuan?" tanyanya sedikit memelas.

"Sayangnya iya. Ini bukanlah film Marvel yang memiliki adegan tersembunyi setelah credit scene." Seukir senyuman tampak di wajah gadis cilik itu.

"Oh, kecuali kau percaya akan reinkarnasi," sanggahku dengan cepat, "kelak mungkin kau bisa melihat sekuel dari film ini. Dengan pemeran dan alur cerita yang berbeda... dan harus kuakui, itu terdengar cukup aneh."

Gadis cilik itu tertawa cekikikan mendengar penjelasanku, "Kau lucu, Tuan. Aku tak pernah menyangka kau memiliki selera humor."

"Sedikit humor selalu membantu di situasi seperti ini, Nona Manis."

Setelah puas tertawa, ia pun menanggalkan jubahku dan bangkit berdiri. Dengan lembut dan hati-hati ia menyerahkan boneka beruang yang selama ini ia peluk kepadaku.

"Jagalah dia selama aku tak ada. Berjanjilah padaku kau takkan membawanya pergi."

"Tenang saja, Nona Manis. Sekarang bukan gilirannya." Aku mencoba menghilangkan kekhawatiran gadis kecil itu.

Ia pun melangkah menuju pintu berlabel "EXIT" yang terletak di sudut kiri ruangan. Tapi, sebelum ia membuka kenop pintu tersebut, aku menghentikannya.

"Maaf, Nona Manis. Sebelum kau pergi, bisakah kau berikan jawabanmu?" tanyaku sambil menunjuk layar. Cahaya statis proyektor memantul di layar tersebut, menampilkan latar putih dengan sebuah kalimat tanya, "What is life, for you?"

Tanpa ragu dan berpikir panjang, gadis kecil itu menunjuk ke arah boneka beruang yang kugendong dan menjawab, "Dia adalah kehidupan bagiku."

Gadis kecil itu memutar kenop pintu. Sepercik cahaya putih menyusup ke dalam ruangan, terang namun tak menyilaukan. Pendar cahaya itu seakan melunturkan sosok gadis cilik tersebut, menampilkan wujud aslinya. Tubuhnya berdenyar dan semakin dewasa, hingga sosok Samantha Bolton menghilang di balik cahaya. Boneka beruang yang selama ini kugendong pun perlahan berubah menjadi sesosok bayi mungil. Raut wajahnya menampilkan kebingungan.

"Sebaiknya kau segera kembali, Nak," ucapku lembut, "mereka akan segera menemukanmu." Kemudian, perlahan bayi tersebut memudar dan terbuyar menjadi kunang-kunang.

"Kau memiliki ibu yang baik, Teddy kecil," ujarku sembari menatap cahaya terakhir kunang-kunang itu meredup.

Aku pun mengenakan jubah hitamku, dan kembali duduk di tengah tangga dekat pintu teater. Menanti klien berikutnya.

****

Selama aku menunggu insan berikutnya, jawaban Samantha masih terbayang dalam benak.

Menatap ulang pengalaman hidupnya, pada saat itu ia bisa saja menjawab bahwa hidup hanyalah penderitaan tanpa akhir. Atau, hidup merupakan kebebasan tanpa batas. Atau bahkan, hidup adalah anugerah terindah yang pernah ia dapatkan.

Tapi, bukan itu jawaban yang ia berikan. Karena pada akhirnya, hidup tidak serumit yang kalian bayangkan.

Pada akhirnya, hidup adalah perjalanan mencari alasan. Alasan yang begitu sederhana, namun membuatmu tetap bertahan.

Mungkin kau adalah seorang anak kecil, yang menanti datangnya pagi hari, hanya demi menonton kartun di hari Minggu.

Mungkin kau adalah seorang remaja, yang tetap rutin masuk sekolah, hanya demi mencuri pandang teman yang kau taksir.

Mungkin kau adalah seorang Suami, yang tak sabar ingin pulang ke rumah, hanya demi memeluk sang Istri.

Atau mungkin kau adalah seorang Ibu, yang tetap teguh menghadapi pedihnya kehidupan, hanya demi melihat senyuman anakmu.

Bagi kalian yang memiliki ide untuk menemuiku lebih cepat, hentikan sekarang juga. Percayalah, itu bukan ide bagus. Aku mudah jengkel jika ada yang menyerobot antrian.

Jadi, carilah alasanmu tak peduli sesimpel apapun itu. Alasan yang membuatmu menanti hari esok. Alasan yang menuntunmu membuka mata setiap mentari terbit. Alasan yang mengukuhkan kakimu berpijak di dunia. Tetaplah bertahan di sana, dan tunggulah giliranmu.

Hingga akhirnya kau membuka pintu teater ini. Aku akan menyambutmu dengan hangat. Lalu, kita akan bersanding bersama, memutar ulang rangkaian kehidupanmu.

Kau boleh menangisi nasibmu.

Kau boleh menyesali keputusanmu.

Kau bahkan boleh meluapkan amarahmu.

Namun, setelah 7 menit berlalu, sebelum kau keluar dari ruang teater, kumohon jawablah pertanyaanku.

Apa makna kehidupan bagimu?

Aku tak sabar menanti jawaban yang kau berikan.

-THE END-

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "CINEMA FOR TWO"

Post a Comment