Target


Judul: TARGET.
Penulis: Suci Hernika.
Genre: Thriller, Crime, Action.

- Sinopsis:
Valley Rownbride tengah berniat mengakhiri hidup ketika seseorang tiba-tiba muncul menginterupsi tindakan bunuh dirinya. Sosok asing yang tak biasa itu sukses membuat Valley melupakan segala permasalahan yang merundungnya. Sekaligus memberikan tawaran yang seolah membuka jalan bagi Valley untuk dapat meraih kesempatan yang belum sempat ia rasakan. Tawaran untuk melanjutkan hidup dengan cara bergabung dalam sebuah organisasi yang tak disangka-sangka sukses mengubah hidup Valley setelahnya. Organisasi ini berisi orang-orang yang dendam pada kehidupan, manusia, dan juga takdir yang seakan mempermainkan mereka. Maka dari itu, orang-orang ini memutuskan untuk hidup dengan cara mempermainkan balik kehidupan manusia serta takdirnya menggunakan TARGET.
-- Chapter 1: Chance (Part 1) --
Sejak awal, aku tahu Mr. Fruddo bukanlah calon ayah yang baik. Terlepas dari kegagahan, wibawa serta isi dompetnya yang amat didambakan oleh Ibu, sisi lain diriku selalu tidak menyukai tatapan dari mata berwarna abu-abu miliknya. Yang seolah menelanjangi aku, seakan apapun yang tertutup di balik bajuku masih dapat jelas dilihatnya. Padahal sebagian rambut-rambutnya telah memutih, sosoknya tinggi, berperangai ramah, sayangnya sisi asli dalam dirinya sungguh busuk. Andai bisa memutar waktu, tidak akan aku restui perrnikahan Ibuku dengan sosok pria bajingan ini. Pria yang belum genap 24 jam resmi menjadi Ayah tiriku sudah menodai aku dengan begitu keji. Membuat aku membenci diriku sendiri, takdir, dunia, dirinya, serta merta Ibu.
Tidak bisakah Tuhan berlaku adil padaku?
- - -
Tubuhku rasanya lemas. Seperti selalu, hanya mampu meringkuk kesakitan di atas ranjang, menatap nanar tubuh tinggi pria keparat yang saat ini tengah dengan santai mengenakan celananya. Saat dia menoleh, aku refleks menutup mata. Meracau dalam hati: 'Jangan lagi, tidak lagi. Aku mohon'. Suara langkah terdengar mendekati posisiku, kemudian sebuah belaian kasar mengenai sisi kepalaku. Belaian yang berangsur berubah menjadi cengkeraman di rambutku.
"Valley putriku sayang,..."
Aku meringis, menahan diri untuk tidak mendengus marah. Panggilan menjijikkan dari sosok busuk ini selalu sukses mendatangkan emosi. Aku benci segala hal yang dilakukannya. Bahkan meski hanya napas yang diembuskannya. Ingin sekali aku melakukan perlawanan, berbuat sesuatu, apapun asal bisa mengurangi siksaan ini. Tetapi aku tidak mampu karena terlalu lemah. Ibuku hanya melahirkan sosok anak perempuan yang cengeng dan penakut sepertiku.
"Ingat, jangan sampai ibumu mengetahui hal ini. Mengerti? Aku tidak mau ini menjadi 'surga' terakhir bagi kita berdua," bisiknya seraya mengusap-usapkan rambutku ke wajahnya. "Ah, bahkan kau masih seharum ini. Kalau saja aku juga bisa menikahimu. Sayang sekali, kau masih terlalu muda."
Jika kau menyadari hal itu, lantas kenapa kau tetap menuruti nafsu birahimu yang busuk itu, Keparat? Namun aku hanya dapat memakinya dari dalam hati.
Setelah mengangguk pelan sekali, rambutku dilepaskannya. Mr. Fruddo lalu berjalan menjauh, membuka pintu gudang sesudah itu keluar. Meninggalkan aku sendirian yang berusaha membangunkan tubuhku yang merasakan nyeri di sekujur tubuh.
Akhirnya, lagi-lagi aku terisak. Merutuki ketidakberdayaanku. Menangisi nasibku yang tidak sesuai harapan. Menyesali permintaanku dulu yang memohon pada Ibu supaya mau menikah lagi dan memberikan aku Ayah baru. Mau bagaimana lagi? Aku belum pernah benar-benar merasakan kasih sayang seorang Ayah sebab ibu bilang ayah pergi meninggalkan kami sejak aku masih berada dalam kandungan. Membuatku tumbuh dalam tanggungjawab seorang single parent yang menghabiskan sebagian waktunya di tempat kerja, sedangkan putrinya ini menghabiskan hari-hari dari playground ke playground lain hingga rumah penitipan anak selama belasan tahun. Lalu saat tiba masanya bagiku mendapatkan Ayah baru, siapa sangka keadaannya justru bertambah buruk?
Merapikan rambut, mengancingkan kemeja, serta tidak lupa menghapus bekas-bekas air mata, aku lalu berjalan agak tertatih menuju ke pintu. Setelah ini, aku harus mulai bersandiwara lagi. Berlagak menjadi seorang putri yang baik, polos dan penurut. Yang merupakan seorang putri kebanggaan sang Ayah. Ayah, ya. Bagiku dia cuma sosok penghancur imajinasiku mengenai hidup bersama orangtua yang utuh adalah impian setiap anak. Seorang keparat yang menimbulkan kebencianku akibat setiap perlakuan menjijikkannya.
Lagi pula aku juga membenci diriku sendiri. Karena semenjak mulai mengenal Mr. Fruddo, aku merasa diriku sudah tidak menjadi diriku yang seperti dulu. Yang aku tahu Valley Rownbride seharusnya tidak begini.
---
"Valley, tolong bantu cuci piring-piring ini"
Aku mengangguk lalu segera mendekati sinky. Memutar keran sambil memperhatikan ibu yang tengah melepaskan apron. Sebentar lagi Mr. Fruddo akan pulang ke rumah, lalu kami akan makan bersama yang tampak bagai keluarga baru yang berbahagia. Bagiku itu semua omong kosong. Tapi tak ada gunanya dipikirkan, sebaiknya aku fokus pada pekerjaanku saja.
Tangan Ibu tiba-tiba saja mengusap lembut rambutku. Aku refleks menoleh ke arahnya. "Ada apa, Bu?" tanyaku seraya meremas spons hingga berbusa lantas mulai mencuci peralatan dapur satu per satu.
Ibu menghela napas, terdengar lesu. "Ibu perhatikan, kau semakin hari semakin terlihat kurus dan pucat."
Tanganku berhenti mengusapkan busa pada piring beberapa saat, sebelum melanjutkan sambil membalas, "Aku baik-baik saja, Bu. Mungkin karena Ibu baru sempat memperhatikanku sebab sudah cukup sering mengambil cuti, kan?" aku sengaja berkata begitu untuk menyinggungnya.
"Valley, jangan buat Ibumu ini merasa gagal menjadi seorang Ibu," ujarnya lalu menggenggam sebelah tanganku. "Kau tahu, Ibu melakukan semua ini demi dirimu."
Aku menatap ibu, memberinya anggukan penuh pengertian. Setidaknya hanya itu yang selalu perlu kulakukan. Cuma ini yang ibuku butuhkan. Apabila sampai berani membantah, kutakutkan kejadian yang tak diinginkan untuk terulang terjadi lagi. Toh aku sadar betul keluarga yang kuimpikan begitu jauh dari harapan.
Ibuku tersenyum senang. "Ya sudah, lanjutkan pekerjaanmu. Ibu akan mandi dulu. Sebentar lagi ayahmu pulang, tidak boleh sampai mengecewakannya," ucapnya diakhiri kedipan mata genit.
Bolehkah aku muntah?
Ibu pergi menuju ke kamarnya, sedangkan aku lanjut mencuci piring-piring yang sudah dipenuhi busa. Ketika selesai dan aku baru meletakkan piring terakhir, pintu ruang depan terdengar dibuka. Aku meneguk ludah lalu buru-buru bersembunyi di samping lemari pendingin. Dikarenakan terlalu panik, membuatku ceroboh sehingga lupa mematikan keran. Jadi tetap saja Mr. Fruddo berhasil menemukan keberadaanku. Yang entah kenapa, pertemuan kami kali ini memacu detak jantungku yang sangat cepat menjadi lebih cepat lagi. Aku merasa hal yang sangat buruk akan terjadi setelah ini...
-
Keluarga, rumah, orang tua, kebahagiaan dan hidup itu sebenarnya apa? Makna sesungguhnya dari setiap hal yang seolah banyak didambakan oleh orang-orang itu, seharusnya seperti apa?
Aku menatap pada sungai penuh bebatuan, berusaha mengabaikan bebauan tak sedap dari tumpukan sampah yang juga banyak dibuang di bawah sana. Sampah. Layaknya diriku.
PLAK!
Tapi mengapa suara tamparan itu tidak dapat aku singkirkan dari ingatan? Apa karena rasa sakitnya masih membekas?
Aku meraba pipiku yang perih, yang aku yakini meninggalkan bekas memerah meski belum sempat bercermin. Bahkan bibirku saja tadi sampai berdarah. Belum lagi ditambah ngilu dan nyeri di bagian kepala akibat jambakan tangan Mama yang amat kuat di rambutku. Semua rasa sakit ini, apa bisa diartikan sebagai sebuah rumah berisi keluarga bahagia yang sebenarnya? Yang dapat aku pikirkan hanyalah, rumah itu adalah tempat yang menakutkan. Lagi pula semua hal-hal buruk yang kualami, selalu tercipta di sana. Termasuk yang beberapa jam lalu terjadi padaku...
Mr. Fruddo melonggarkan dasi yang dipakainya kemudian menunduk, membuatku memejamkan mata terpaksa sebab tidak sanggup melihatnya yang akan mulai lagi melakukan hal-hal tidak menyenangkan terhadapku, pada tubuhku. Ketika tangannya yang kasar itu meraba paha, menyingkap dress yang kukenakan hingga ke atas, suara langkah seseorang yang mendekat ke arah kami menghentikan aksinya. Dia melotot padaku lalu mundur dengan cepat ke belakang sambil memasang raut panik, bertepatan dengan kedatangan ibu yang menatap tak percaya ke arahku dan juga dirinya.
"Apa yang kalian lakukan?!" tanyanya terdengar murka.
Aku gemetaran di tempat. Padahal ada banyak sekali jawaban yang mampu aku katakan, tetapi mengapa sekadar bersuara saja rasanya begitu sulit?
Tiba-tiba Mr. Fruddo berteriak, "Dia menggodaku, Veroyn Sayang. Putrimu menggodaku, dia memaksaku melakukannya. Aku sungguh tidak menginginkan ini, tapi dia tetap saja bersikeras," dia lalu menunjukkan dasi yang dipakainya dengan tangan agak bergetar. "Lihat ini? Buktinya. Putri kesayanganmu sudah berubah. Dia membuatku gila."
Ajaib sekali, bagaimana kata-kata yang diungkapkan oleh pria yang bahkan belum sungguh-sungguh dikenalinya dari luar dan dalam lebih mampu membuatnya percaya ketimbang tangisan dan jeritan pilu yang putrinya suarakan. Aku ditarik oleh ibu menuju ke ruang tengah, didorongnya ke arah meja hingga perutku merasa mual saat menabrak sisi kacanya.
"Kau anak yang tidak tahu diuntung! Bagaimana bisa aku membesarkan seorang anak sampah sepertimu?!"
Rambutku dijambak, pipiku ditampar. Aku memelas, memohon, mencoba menjelaskan hanya untuk diberi lebih banyak tamparan serta pukulan dari tangannya. Tangan Ibuku. Dari sudut mataku, dapat aku lihat Mr. Fruddo tersenyum. Pria keparat itu menyukai kesakitan yang tengah aku alami. Dia dan ibu tidak aneh bisa menjadi sepasang suami istri. Keduanya memang cocok menurutku.
Mengepalkan kedua tangan, bersamaan dengan kedua kakiku yang mendadak gemetaran. Kilasan sewaktu aku ditarik keluar dan diusir amat membekas di dalam kepalaku yang bertambah nyeri. Yang lainnya yang tak bisa aku lupa, adalah bahwa Ibu harap aku tidak pernah terlahir. Bahwa aku seharusnya pergi bersama ayahku ke neraka. Bahwa aku lebih baik mati dan tidak akan pernah lagi kembali ke rumah.
Jika memang benar tempat itu bisa disebut sebagai rumah. Meskipun aku belum tahu rasanya berada di neraka, rumah itu sendiri seolah telah banyak menunjukkan contoh siksaan di dalam neraka padaku. Lalu bentuk sebuah rumah yang sesungguhnya itu seperti apa? Apakah setelah aku melompat terjun ke bawah dan akhirnya mati, neraka yang akan kulihat nanti layak aku anggap rumah? Tidak ada bedanya kan?
Sebelum mati, setiap orang pasti akan mengajukan permintaan terakhirnya. Apakah aku juga boleh meminta sesuatu? Aku hanya ingin meminta sebuah kesempatan. Kesempatan untukku benar-benar mengenal arti hidup yang sebenarnya, menemukan rumah, berkumpul bersama keluarga lalu merasakan kebahagiaan. Itu saja. Pasalnya, selama 16 tahun aku hidup dan terkurung; cuma bisa memperhatikan segala hal dari kejauhan, belajar ilmu yang tak banyak membantu, dengan sisanya yang kusaksikan dari televisi, semua itu masih belum sanggup memenuhi hal yang kuharapkan. Jadi apakah boleh kesempatan itu aku dapatkan? Apakah neraka akan menunjukkannya? Kurasa mustahil.
Aku tersenyum, mendongak memandangi bintang-bintang di langit untuk yang terakhir kali.
"Kalian sangat indah," Tidak sepertiku.
Andai aku hidup di atas sana bersama mereka, segala kekacauan ini pasti tak akan terjadi. Sebaiknya aku segera menyusul.
Aku membungkukkan badan, bersiap untuk menyempurnakan tujuan bunuh diriku, saat mendadak sebuah bungkusan plastik terlempar dan bergabung ke tumpukan di bawah sana. Terpaku seperkian detik, aku lalu menoleh hanya untuk melihat seseorang yang berdiri santai menghadap ke arahku sambil memakan burger. Hoodie hitam yang dia pakai menutupi topi yang juga dikenakannya, membuatku sedikit sulit melihat wajahnya. Apa yang dia lakukan...
"Apa yang kau lakukan malam-malam sendirian di sini?"
Seharusnya itu menjadi pertanyaanku. Dan ternyata suaranya adalah suara seorang laki-laki. Perasaanku semakin tak keruan. Hal-hal yang berhubungan dengan laki-laki selalu sukses menciptakan sensasi tidak menyenangkan dalam tubuh. Seperti saat ini. Mengurungkan niatku yang semula ingin melompat untuk mati.
Dia lalu berjalan ke mari, dan dengan sigap aku menegakkan tubuh. Menegang di posisiku. Saat laki-laki ini sudah berjarak cukup dekat denganku, barulah aku bisa dengan jelas melihat wajahnya yang rupanya terlihat lebih buruk daripada kondisiku saat ini. Sebelah matanya lebam, pipinya diperban, bibirnya terluka, dan bahkan ada banyak sekali bekas sayatan tertinggal di sana. Apa yang terjadi padanya? Apakah dia pasien yang kabur...
"Woah! Kau terluka!"
Aku berjingkat kaget mendengar seruan darinya.
"Sebentar," ujarnya yang setelah itu merogoh-rogoh kantung hoodie yang dia pakai. Tidak lama sesuatu dikeluarkannya dari sana. Sebungkus penuh plester, yang kemudian disodorkannya ke arahku. "Ini, ambillah,"
Apa? Untuk apa dia memberikan plester sebanyak ini padaku? Aku menggeleng saja sebagai jawaban atas tawaran darinya yang tak kumengerti.
Dia berdecak lalu berkata, "Ya sudah kalau kau tidak mau. Ini padahal masih baru, lho. Yakin kau tidak mau mengambilnya, meskipun hanya satu?"
Mengernyit mendengar penuturannya membuatku sadar bahwa aku hanya buang-buang. Ini semua sudah tidak ada artinya.
"Pergilah. Aku tidak butuh bantuanmu," ucapku. Berharap semoga aku tidak salah menyuarakan respons.
Dia lanjut memakan burger yang masih dibawanya. Semata-mata memancing cacing-cacing di perutku yang kosong menciptakan kegaduhan. Aku belum makan lagi sejak tadi pagi. Sejujurnya, saat ini aku lapar. Lagi pula setelah semua yang terjadi, apakah penting untukku memikirkan makanan? Aku memang sampah, sungguh tak tahu malu.
Kali ini kulihat dia merogoh kantung hoodie-nya di sisi yang lain, memunculkan sebungkus sandwich yang masih tersegel yang lalu diletakannya di sebelah kakiku. "Makanlah. Meskipun kau berniat untuk mati, setidaknya izinkan dirimu merasakan kenikmatan untuk yang terakhir kali," kata-katanya sukses mengejutkanku. "Kau masih beruntung sebab kau bisa memutuskan hidup dan matimu seorang diri. Di luar sana, banyak sekali orang yang tidak pernah tahu kapan mereka akan mati. Jadi sebagian dari mereka banyak yang belum mendapat kesempatan untuk menikmati hal-hal yang mereka inginkan."
Mendengar hal itu membuatku nyaris tertawa terbahak-bahak. Bahkan meskipun aku memutuskan hidup dan matiku sendiri, aku belum mendapatkan kesempatan yang aku mau.
Melihatku yang tetap bergeming, membuatnya tampak berpikir sebentar. "Oh. Jadi kau juga belum mendapatkan kesempatan itu, ya? Pantas saja jika kau ingin mati."
Kalimatnya berhasil mengejutkanku lagi. Memangnya dia ini seorang pembaca pikiran?
Dia tersenyum lebar setelah itu memasukkan gigitan terakhir burger yang dimakannya. "Ah, sial. Aku lupa membeli minuman." keluhnya yang lantas memperhatikanku lagi. "Apa kau yakin ingin mati di tempat seperti ini? Saat ini? Apa kau tidak lagi memiliki tujuan hidup lain? Sesuatu yang kau inginkan, misalnya... menjadi kaya?"
Aku terperangah tak percaya menatapnya. Mengapa dia membicarakan tindakan-berniat-bunuh-diriku seolah ini adalah hal yang sangat biasa? Lagi pula bila dia berniat menghentikanku, seharusnya dia langsung saja menarik aku turun dari sini kan? Bukannya malah mengajak aku mengobrol seolah kami berdua tengah berada di reuni.
Dia berdeham langsam. "Kau belum menjawab pertanyaanku," bisiknya sambil menaik-naikan alis.
Berpikiran bahwa sosok pemuda ini sangat aneh, membuatku agak sangsi. Apa dia mabuk? Tapi cara bicaranya tidak menunjukkan demikian.
Dikarenakan tidak memiliki persediaan jawaban yang tepat untuk setiap pertanyaannya, yang bisa kulakukan cuma memberinya gelengan kepala. Memunculkan ekspresi lesu di wajah penuh luka itu.
"Kalau begitu, izinkan aku mengajukan pertanyaan terakhir," ucapnya sembari lagi-lagi merogoh kantung hoodie yang dia pakai. "Apa kau bersedia melanjutkan hidup untuk bergabung bersama kami?"

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Target"

Post a Comment